Minggu, 01 Agustus 2010

Only You chapter 1

Aloha mina-san! Hana-chan balik lagi nih! bawa fict baru, lo! fict baru! fict baru! oye oye! haha, hana-chan emang banyak bacot wkwk. ini fict romance perdana hana-chan jadi kalau jelek maaf, ya. ini cuma imajinasi hana-chan doang kok hehe. kalau yang ga berkenan maaf. terkesan mendrama? haha tau tuh hana-chan kebanyakan nonton cinta fitri (?) jadinya fict romance begini deh. haha. sebenernya ini mau dibikin birthday fict buat Sasuke. tapi... keadaan berkata lain. HUWAAAAAA *nangis kejer* Sasuke, maaf maaf ya nanti kalo pas 23 juli chapter ini masih berlanjut pasti buat kamu. plis jangan marah *Sasuke : siapa yang marah? penting gitu ya dapet birthday fict dari ni author abal? kalo aku anggep itu penting artinya aku bukan Uchiha_author : OA OA-nangis kayak bayi... atau burung hantu?-* oke deh, sekian B/N nya atau Bacot Notes haha apadeh. enjoy! mind to RnR?

Warning : OoC, AU, abal, aneh, cacat dan teman teman sebangsanya. terkesan mendrama

Pairing : SasuSaku, SasuNaru, NaruHina

Disclaimer : My father, Masashi Kishimoto *MasKis : siape lu? gua ga pernah dapet anak produk gagal kayak lu_author : OA OA*

Summary : Awalnya Sasuke mencintai Sakura. Cinta mati kita menyebutnya. Tapi, cintanya sedikit demi sedikit menipis dimakan waktu. Bagaimana dengan Sakura? Dia malah menjadi semakin cinta dengan Sasuke. Ya, cinta mati. Tanpa Sakura sadari, hubungan mereka merenggang, dan ada seseorang yang sebenarnya tidak ingin namanya dibawa-bawa di buku diary keduanya. Tapi keadaan berkata lain. Bagaimana kelanjutan hubungan SasuSaku? Lalu, orang itu siapa?- maaf author ga pinter bikin summary haha-

Only You

Sasuke POV

Aku Sasuke. Sasuke Uchiha berumur 24 tahun dan merupakan mahasiswa di suatu Universitas bergengsi di Otogakure. Aku juga merupakan pewaris tunggal dari Uchiha Corp, perusahaan keluargaku. Kini aku sedang bersama kekasihku, Sakura Haruno. Seorang model yang cukup terkenal di Oto. Waktu pertama kali aku melihatnya, aku langsung terpana oleh kecantikannya. Ya, sebagai seorang model memang suatu keharusan untuk memiliki wajah yang cantik dan tubuh yang proporsional. Waktu itu aku sedang mau menonton band yang aku dan kakakku suka. Lalu, ada seseorang yang tidak sengaja menumpahkan saus burger di kemejaku. Aku hampir mendidih sampai aku melihat wajahnya yang amat-sangat manis. Aku langsung menaruh hati padanya. Tak disangka, dia pun begitu. Akhirnya kami mulai mengenal satu sama lain dan berpacaran. Ah, masa lalu.

Masa lalu, memang masa lalu. Kini perasaan yang kurasakan selama 5 tahun berpacaran dengannya seperti terkikis. Memang sakit, namun aku tidak bisa membohongi perasaanku sendiri. Dulu, aku cinta mati padanya, sekarang itu hanya khayalan belaka. Kini perasaanku sudah terkikis layaknya batu karang yang dihempas kejamnya gelombang. Gelombang, kalau memikirkan gelombang aku jadi teringat akan perjalanan aku dan dia yang terombang-ambing layaknya gelombang. Waktu itu dia adalah penyanyi solo, dia tidak dibolehkan berpacaran oleh managernya. Akhirnya dia beralih profesi menjadi model. Padahal dia sangat mencintai nyanyian dan sorak-sorai saku lovers—sebutan untuk penggemarnya—namun dia tetap pada keyakinannya, beralih profesi. Hanya untukku.

Dia beralih profesi hanya karena aku.

Aku yang kini sudah tidak menaruh hati padanya. Aku yang begitu jahat meninggalkan dia yang sudah—sepertinya—cinta mati padaku. Aku tahu dari caranya bicara, menatapku, mengenggam tanganku. Lembut memang, namun menyakitkan. Mengingat aku yang sudah setengah hati menjalani hubungan ini. Hanya untuknya.

Aku rela menjalani hubungan ini hanya untuknya.

Agar dia tidak uring-uringan, agar dia tidak bunuh diri—oh, jangan sampai. Jangan sampai terjadi—agar dia tidak menyewa pembunuh bayaran karena aku yang tidak menaruh hati lagi padanya. Aku egois, kalian tahu itu. Tapi aku tidak seegois yang kalian kira. Kalian tahu bagaimana rasanya menaruh harapan kosong kepada seseorang yang memang sudah sedikit harapannya? Sakit. Kalian dengar? Sakit. Ini sama saja dengan membuat orang bersenang-senang, berfoya-foya, bermaksiat, melanggar perintah Tuhan, dan akhirnya masuk neraka. Aku tidak ingin begitu. Namun, aku rasa semuanya sudah terlambat. Amat sangat terlambat. Beberapa bulan yang lalu aku sudah terlanjur berjanji akan meminangnya. Kami memang belum bertunangan, karena kami memang berprinsip pendidikan yang utama. Lalu, sekarang aku akan memutuskan hubungan itu begitu saja? Kalau aku egois aku akan menjawab "Ya" dengan tegas. Tapi, aku tidak seperti itu. Seperti penjelasan di awal. AKU-TIDAK-SEEGOIS-YANG-KALIAN-KIRA.

"Sayang, pesawatnya sudah mau landing. Aku sudah tidak sabar bertemu dengan mereka semua,"

Suara itu. Aku mendengar suara itu meraba telingaku dengan keganasannya. Dengan kelembutannya. Ganas, karena suara itu yang membuatku mengingat semua kenangan indah aku dengannya. Lembut, karena suara itu memang lembut, melantun dengan imutnya meraba-raba telingaku yang dingin karena AC , lalu memukul gendang telingaku dengan lembut. Suara adalah alasan kesekian untuk aku mencintainya. Gumaman "maaf" yang dilantunkan suara lembut itu saat aku menonton band waktu itu memang sangat berpengaruh dengan pikiranku dan perasaanku.

"Sayang, ayo kita keluar. Aku sudah tidak sabar bertemu dengan teman-temanku. Ayo!" dia menggenggam tanganku dan menarikku masuk dalam barisan penumpang yang akan keluar dari pesawat itu. Aku tidak bergeming. "Sayang, kamu kenapa?" tidak sanggup aku mendegar suara itu lagi, akhirnya aku menyambut tangan mungilnya itu, lalu tersenyum sembari menjawab "Iya, sayang."

~3~

Kini kami sudah mengambil tas masing-masing di tempat pengambilan bagasi. Dan sekarang kami sedang berjalan menuju ruang tunggu yang diiringi ocehan yang tak henti-henti dari mulut Sakura

"Ayo, yang. Kita cepet-cepet ke ruang tunggu, aku sudah ga sabar liat Hinata. Aduh, ga sabar. Katanya Hinata bawa pacarnya yang namanya Nar—" perkataannya kupotong

"Sakura, kau kan bisa sabar. Gausah narik-narik tanganku gini deh, ah." Sahutku tak terima diperlakukan seperti anak banci kesasar yang dirazia satpol PP

"Oh, maaf." Dia memperlembut genggamannya. Kuulangi, lembut. Dia melanjutkan "Aku sayang sama Sasu-kun, maaf ya tadi. Kekencengan bukan? Maaf, ya. Aku cuman sedikit," dia menghela napas sebentar lalu melanjutkan "semangat. Kau tahu? Reuni ini sangat penting. Setelah 5 tahun berpisah menurutmu apakah aku tidak kangen? Apalagi aku ini cewek. Seperti katamu, cewek itu mewek." Sahutnya

Cewek itu mewek. Bukan, salah, cewek itu tegar, cowok yang mewek.

"Sakura, kamu mau ngapain aku juga terserah. Asal jangan biip. Belum boleh." Jawabku asal, lalu kutambah dengan bisikkan yang sangat kecil sekali "Namun hanya saat aku milikmu dan kau milikku. Saat itu berakhir, kau jangan lagi. Hanya sampai situ, dan kurasa waktu itu kian mendekat."

"Sasu-kun, aku ga mau biip sama kamu. Siapa yang mau? Ga level, haha." Dia tertawa menggemaskan. Aku mencubit pipinya dengan gemas seraya berkata "Oh gitu? Tapi aku pinginnya sekarang, gimana dong?" jawabku setengah geli

"Yaudah sana sama hantu aja, jangan sama aku. Hahaha." Jawabnya. Melihatnya tertawa aku juga jadi ingin tertawa. Bagaimana tidak tertawa? Lihat saja mukanya, rasanya aku ingin memakannya saat dia tertawa. Kenapa? Karena warnanya mirip tomat.

"Hahaha, ada ga, sih, hantu yang cantik? Haha." Jawabku.

Kini dia melepaskan genggamannya padaku. Aku membiarkannya. Kini tangan kanan itu sudah berada di pundakku. Hem, dia memang suka begitu. Kalau tertawa dia sudah tidak sanggup menopang tubuhnya. Mengejutkan, padahal tubuhnya mungil.

"Ada, tuh Kuchisake-onna. Mau? Bibirnya lebar lo, asik kalo dicium. Hahaha." Ah, dia tertawa lagi.

"Gimana, ya? Err, kurang cantik. Hahaha," aku berhenti tertawa, dia juga. Kini aku mencoba meraih tangan kanannya yang masih bertengger di pundakku. Lalu selanjutnya tangan kirinya kuambil. Aku menggenggam kedua tangannya. Lalu berkata "Aku serius." Jawabku serius, dengan tatapan yang tajam pula. Sukses membuat tangan Sakura dingin dalam genggamanku, ah jangan lupa wajahnya yang pucat.

"Sasu-kun, jangan, ga boleh. Sasu-kun bokep, ah." Jawabnya dengan wajah pucat, tangan merinding dan mata yang melotot, aku tertawa

"Hahaha, bercanda. Aku kan orangnya ga kaya gitu. Kamu kok gitu, sih? Emang mukaku muka-muka orang bokep apa?" jawabku geli. Aku melepas tangan kirinya lalu bergandengan seperti biasa layaknya pasangan-pasangan lain. Namun ada yang berbeda. Disini.

Sakura hanya diam. Mungkin dia masih dongkol.. atau takut? Aku juga takut sebenarnya yang seperti itu. Kalian tahu, kan? Kami memang masih kekanakkan dibandingkan dengan yang lain. Temanku, 24 tahun sudah pernah ciuman bibir. Kami? Boro-boro. Dia takut yang seperti itu. Aku juga. Hah, kalau aku menonton berita tentang pergaulan bebas anak sekolah jaman sekarang yang aku bisa hanya geleng-geleng kepala. Apa sih yang ada di pikiran mereka? Aneh.

"Eh, Sayang, itu Hinata sama pacarnya, kita kesana, yu." Ia menarikku lagi menuju salah satu coffeeshop di bandara itu. Konoha Airport. Saat sudah dekat dengan mereka berdua, Sakura berjingkat. Sepertinya dia mau mengejutkan temannya itu. Aku ikut membantunya. Namun gagal. Aku tidak sengaja menginjak tali sepatuku. Dan akhirnya, mereka berdua menengok ke belakang, dan mendapati kami berdua sedang berjingkat—khusus untukku, aku sedang jatuh—dengan tampang bodoh.

Yang cowok menatap kami dengan tatapan kalian-ngapain-?-mau-ngejutin-ye-?-sayang-ga-mempan-ha-ha-ha, sedangkan yang cewek tidak ambil pusing dengan tingkah bodoh kami berdua, dia menyapa Sakura "Sakura! Aku kangen banget! Tadi aku nunggu di ruang tunggu kamu belum dateng jadi aku beli kopi dulu, hehe."

"Hai Naruto! Hehe, ga apa-apa. Aku juga kangen banget sama kamu, Hinata! Oh, iya Hinata, Naruto, kenalin ini," dia menghela napas sejenak lalu melanjutkan "pacarku. Namanya Sasuke Uchiha." Aku menyambut uluran tangan yang cewek—yang sepertinya namanya Hinata—dan lalu yang cowok—yang ini sepertinya namanya Naruto.

Mereka, maksudnya cewek-cewek itu. Sakura dan Hinata asik berbincang-bincang dan meninggalkan aku sendirian. Tidak juga sih, berdua.

"Hei, Sasuke jadi kau dari Oto, ya?" tanya Naruto

"Hn," jawabku

"Disana kau bekerja apa?" tanyanya lagi

"Mahasiswa. Tapi kalo lagi ga ada kuliah aku kerja di kantor ayahku." Jawabku lagi

"Oh, kalau aku arsitek. Hehe." Jawabnya sambil nyengir kuda. Imut.

"Hebat kecil-kecil udah jadi arsitek." Jawabku asal sambil menerawang ke jendela dibelakan Naruto

"Kecil? Aku udah 24 tahun masa dibilang kecil? Kamu tuh yang kecil, jadi mahasiswa ga lulus-lulus." Belanya

"Oh? Ya, ya, ya. Tapi 2 bulan lagi aku lulus. Lihat saja nanti. Uchiha corp akan semakin berkiprah saat aku sudah resmi menjadi presiden direkturnya. Lihat saja." Aku tidak kalah membela. Enak saja dia bilang aku tidak lulus-lulus. Itu kan karena aku juga bekerja. Payah.

"Uchiha corp?" tanyanya. Matanya terbelalak. Astaga, dia kaget? Haha memang apa bagusnya perusahaan sial itu?

"Ya, kenapa?" tanyaku enteng

"Yang memprodksi ramen instan merek "Ramen Wow Enak" itu kan?" tanyanya lagi. Matanya masih terbelalak

"Ya, kenapa?" tanyaku masih tidak tertarik

"Makanannya enak sekaliii. Kalau kau jadi presiden direkturnya kau bikin ramen lagi, ya? Yang banyak. Oke, oke?" kini dia sudah mengacungkan kedua jempolnya. Aku tidak menggubrisnya. Kini perhatianku tertuju pada dua cewek yang sedang asik mengobrol entah apa.

Sakura menyadarinya, dia menengok kearahku lalu tersenyum singkat dan kembali lagi dalam obrolan ceweknya bersama Hinata.

"Hei, Sasuke, kau dengar tidak?" tanya Naruto yang dengan sukses membuatku menengok lagi kearahnya "Apa?" responku

"Ga jadi deh, kenapa sih kamu?" tanya Naruto dengan nada menggoda

"Iyuh, ngomongnya." Responku jijik. Memang sudah jadi kebiasaan Konoha mungkin ngomong aku-kamu dengan orang baru dikenal. Kenapa tidak pakai gua-lu atau aku-kau aja? Kan lebih bebas. Ditambah nadanya itu. Iyaiks

"Sasuke!" aku merasa ada tangan yang menyoel pundakku. Dan juga suara yang memanggiku. Suara lembut itu lagi. "Ada apa?" jawabku sambil menoleh padanya

"Aku mau ke rumah Hinata, ya? Terus ke Konoha High School. Kamu di apartmentnya Naruto aja, ya?" izinnya

"Iya," jawabku malas-malasan

"Aku langsung ke rumah Hinata, ya." dia mengecup pipiku singkat lalu pergi menuju parkiran.

"Hati-hati, ya!" sahutku saat mereka masih belum jauh

"Ya," jawabnya

Kalian tahu? Meskipun aku sudah tidak begitu cinta pada sakura, tapi aku masih ada suka dan sedikit rasa sayang. Walaupun sedikit yang penting cukup untuk menopang hubungan ini. Kalaupun rapuh juga tidak apa-apa. Yang penting dia senang. Mudah-mudahan cintaku ini bisa tumbuh seperti dulu lagi. Kami-sama...

"Lalu kita disini ngapain?" tanya Naruto sambil menatap lurus ke arah mata onyxku. Mata sapphirenya... indah

"Ngapain? Ngopi, dong!" jawabku sambil menyesap teguk terakhir yang tersisa di gelas kertasku.

"Ngopi? Kopimu abis, punyaku juga. Kalau gitu kita ke apartment ku aja. Tadi Hina-chan bilang kau ke rumahku kan?"

"Hn,"

"Yo," Naruto merogoh-rogoh dompetnya lalu menyerahkan beberapa lembar uang pada penjaga coffeshop itu "Aku yang traktir,"

"Makasih," gumamku

"Mau sampai kapan duduk disitu? Sampe lumutan? Ayo buru," Naruto memberikan isyarat agar aku cepat menyusulnya, aku ikut-ikut aja

~3~

"Jadi, kau ke Konoha hanya untuk ikut Sakura?"tanya Naruto saat kami sudah berada dalam mobilnya.

"Hn," responku tak tertarik

"Kau dan Sakura itu," Naruto membiarkan kalimatnya menggantung

"Apa?" tanyaku penasaran

"Mesra, tapi serasa ada yang kurang gitu, apa ya?"

Memang, kini cintaku sudah tidak bersarang di hatinya lagi. Memang ada yang kurang, Naruto. Kau benar.

"Ah, ngga ah. Ga ada yang kurang. Yang ada kamu sama Hinata yang mesra sampe segitunya," jawabku

"Aku memang sayang sama Hinata. Sayaaaaang sekali. Tapi Hinata itu orangnya gitu," sahut Naruto. Lagi-lagi menggantungkan kalimatnya.

"Apa?" sahutku tidak sabar

"Cemburuan. Manis, sih. Baik lagi. Lemah lembut. Tapi, ya itu. Cemburuannya udah mendarah daging." Jawab Naruto dengan raut muka menyesal. Bibirnya dimajukan kedepan. Sekali lagi, imut.

"Hei, Sasuke, kau ada masalah ga deng—" dia menoleh padaku sejenak lalu langsung terkejut dengan sorotan mataku "Hei! Kau kenapa? Ngeliat aku kayak apa tau?"

Aku menggeleng-gelengkan kepala berusaha kembali ke alam sadarku. "Eh? Ngga, tadi ada lalat masuk pas kamu ngomong. Keren, kok kamu ga nyadar, sih?" tuturku berbohong

"Eh, emang ada? Ga ngerasa, ah." Jawab Naruto sambil mengodok-odok isi mulutnya dengan lidahnya, tentu saja.

"Ada, tau. Kamunya udah mati rasa, kali." Jawabku tak peduli

"Ah, tau ah." Sahutnya "Ga ketemu,"

"Eh, tadi kamu nanya apa?" tanyaku saat aku ingat kata-katanya yang sempat terputus

"Yang mana? Yang "Emang ada?" bukan?" tanyanya

"Bukan, yang masalah-masalah, itu lo." Sahutku

"Oh, yang masalah dengan Sakura? Kau ada masalah ga dengan Sakura?" tanyanya. Lalu dia mengalihkan pandangannya dari jalanan sejenak lalu menatapku "Kalau ada bilang saja. Kau tahu? Walaupun aku dan kau itu baru kenalan aku merasa punya ikatan lo,"

Ikatan, ya?

"Aku. Eum, tapi kau janji jangan bilang siapa-siapa, ya?" sahutku sambil mengeluarkan jari kelingki agar ditaut bersama jari kelingkingnya. Simbol janji maksudku.

"Kau tidak mengerti aku sedang menyetir?" sahutnya

"Oh, kau kira menyetir harus pake dua tangan? Ayolah, janji." Kataku tidak sabaran

"Ehem, iya deh." Katanya. Lalu memindahkan posisi tangan kirinya dari setir ke tanganku. Dan, kelingking kami bertaut.

~3~

"Sudah sampai." Sahutnya saat mobil BMW hitam miliknya itu terparkir di suatu tempat bernama "parkiran" "Ayo turun." Imbuhnya

Aku segera turun dari mobil itu. Tanpa menunggu aba-aba dari siapapun. Termasuk si pirang yang masih di mobil. Dia ngapain sih? Pikirku. Lagi teleponan mungkin sama Hinata. Dan benar saja, saat pintu kemudi di buka aku melihat dia sedang bertelepon dengan seseorang. Yang pastinya bukan Hinata karena aku mendengar dia memanggil orang di seberang telepon itu "Pak" mana mungkin Hinata. Mungkin rekan kerjanya. Atau apalah aku tidak mau ambil pusing dengan itu. Tidak berguna.

Naruto berjalan 1 meter di depanku. Aku malas menyusulnya. Buat apa? Kini kami harus menyeberang untuk masuk ke pintu masuk apartment. Naruto menyeberang tanpa melihat kanan-kiri. Dia main terobos saja. Dan sesuatu terjadi, mobil vios melaju di tempat Naruto sedang menyeberang. Naruto tidak menyadari itu. Jadi, dia tenang saja. namun aku tidak bisa membiarkan mata sapphire itu meninggalkanku begitu saja. Spontan, aku berteriak "NARUTO! AWAS MOBIL!"

Naruto menoleh ke kiri lalu tercengang sejenak. Namun, ini bukan sinetron abal yang kini sedang merajalela di kalangan anak muda zaman sekarang. Naruto segera berlari menuju seberang jalan tujuannya. Fuh, dia selamat. Mobil itu lewat begitu saja tanpa dosa. Aku menatap mobil itu sejenak dengan tatapan sebal, lalu, aku menyusul Naruto yang kini sedang mengatur napas. Terlalu terkejut dia. Ponsel yang sedari tadi terus menempel di telinga dan tangannya itu juga kini terlihat sedang dimasukkan ke saku celana.

"Hei, kau tidak apa-apa?" tanyaku cemas pada si pirang penyuka ramen buatan perusahaanku, "Sudah tidak apa-apa. Santai saja." lanjutku saat melihat ekspresi Naruto yang berubah drastis dengan saat di coffeshop beberapa waktu sebelumnya.

"Sasuke, terima kasih." Ucapnya tulus

"Ya, kau harus berterima kasih padaku." Kataku narsis

"Kau menyelamatkan hidupku, Sasuke." Katanya sambil tersenyum lebar sekali. Imut.

"Ya, sujud-sujudlah di depanku sekarang jug—" kata-kataku terputus saat Naruto memelukku. Oh hangat seka—HEI! Bicara apa aku? Gila!

"Sesak, Nar. Lagian nanti orang-orang kira kita yaoi. Iyuh." Kataku berusaha melepaskan diri dari si pirang aneh itu. Apa dia juga berpikir aku ini... imut?

Aku berhasil lepas dari Naruto. Aku mengusap-usap lenganku yang terjepit badanku dan Naruto tadi. Memerah. Seperti warna rambut Sakura. Haha.

"Haha, ga apa-apa, kali. Kita kan teman!" sahut Naruto yang tanpa sadar membut wajahku merona merah. Tunggu, merona? Merah?

"Hem, ya. Teman." Responku malas

"Oke, jadi kapan kita masuk ke apartment? Dan beristirahat dengan tenang di kamarku, eh? Kau masih betah disitu? Atau kau memang ingin lumutan?" tanya Naruto yang dengan sukses membawa kaki ini masuk ke dalam lobby apartment yang didominasi warna krem-cokelat itu.

~3~

"Hem, lumayan." Sahutku saat mereka berdua sudah berada di dalam apartment

"Lumayan apanya?" respon Naruto seraya menaruh tas ranselku di dekat gantungan jaket

"Lumayan apartmentnya," seruku tanpa harus repot-repot membantunya. Ia berkeliling apartment itu. "Lumayan," gumamnya sekali lagi

"Sasuke aku mandi sebentar, ya?" sahut Naruto saat ranselku sudah ditaruh dengan benar. "Ya," balasku

Sementara Naruto mandi, aku menyibukkan diri dengan bermain ponsel. Mungkin ada sms atau missed call atau apalah. Dan benar saja, 4 sms dan 1 missed call.

'Kenapa bisa tidak terdengar?' pikirku

Aku membukanya satu per satu. Yang pertama, sms dari ayah menanyakan kabar. Aku membalasnya. Setelah itu, aku membuka sms berikutnya, kini dari Juugo, teman kuliahku. Nanti saja dibalas, sms berikutnya dari bawahanku atau sekarang masih dibilang bawahan ayah. Tidak terlalu penting, nanti saja dibalas. Lalu yang terakhir dari Sakura.

[Sayang, kita di Konoha dua minggu, ya! Boleh ga? Bisa ga?]

aku membalasnya, [dua minggu?]

Tak berapa lama kemudia ponselku bergetar, balasan dari Sakura [ya, boleh?]

Aku segera membalasnya [Kita kan cuma bawa baju untuk sehari menginap, bukan 2 minggu]

[nanti ada pembantuku bawa baju. Nanti aku suruh dia ambil bajumu juga, deh. Aku masih kangen. Sasuke? Ya? Ya? Ya?]

[Sakura,]

[boleh?]

[hn, boleh]

[yay, you're the best!]

[hn,]

[kok hn doang?]

[iya, sayangku cantikku manisku cintaku kekasihku :*]

[love ya :*]

Aku tidak membalasnya lagi. Karena aku sendiri masih bingung aku masih cinta pada Sakura atau tidak

"Hei, Sasuke! Kau mau mandi?" aku mendengar Naruto memanggilku dan menawari kamar mandinya untukku pakai. "Hn," jawabku

Aku segera menambil handuk yang masih berada di dalam ranselku dan bergegas ke kamar mandi. Sejenak aku menoleh ke arah ponselku—yang tadinya tergeletak tak berdosa di atas meja sekarang berpindah ke tangan si pirang—aku melihat raut muka Naruto, agak sedikit kecewa. Mungkin, dia melihat sms dari Sakura yang tadi. Hn

"Hem, sebaiknya aku keramas atau sikat gigi dulu, ya? Hem, sabunan dulu aja, deh. Lalalalala. Asik! Sabunan udah, keramas ah. Eh bilas dulu aja, deh. Yah, sabunnya jatuh. Nanti aja diambilnya. Aku mau keramas dulu aja deh. Lalalalala. Ah, mataku perih ga bisa liat! Hah, harus cepet-cepet bilas."

BRUK!

"Awwwwww! SAKIT! DASAR SABUN GA TAU DIUNTUNG!" umpatku keras-keras. Memang, sabunnya tidak tahu diri! Apa itu? Sudah tau mataku perih.

Terdengar suara seseorang yang membuka pintu kamar mandi. Dan sialnya aku lupa mengunci pintu. Aku hanya bisa pasrah dengan keadaan kalian-tahu-orang-mandi-tidak-pakai-baju. Brak! "Sasuke! Kau kenap—AAAAAA!" aku tidak bisa melihat orang itu. Mataku perih, tapi dari suaranya sepertinya Naruto. Tapi, kalau dia teriak, kenapa sampai sekarang aku tidak mendengar suara kamar mandi ditutup—atau dibuka? Naruto masih disini? Aku bangun lalu dengan keadaan seperi orang buta, aku menggapai-gapai udara. Akhirnya, aku menemukan wastavel.

"Harta Karun!" seruku di tengah kegelapan kelopak mata. Aku mencari-cari kran air dan mencoba meraihnya. Akhirnya, mataku bisa berfungsi lagi.

Aku membalikkan badan, tanpa sengaja aku melihat Naruto dengan keadaan hanya memakai boxer. Tidak LEBIH dan tidak KURANG. Lalu aku melihat keadaanku sendiri, polos tidak pakai apa-apa. Aku tercengang sebentar mencoba menelan apa yang sedang terjadi.

"AAAAAAAAAAAAAAAAAAAA! NARUTO! KAU NGAPAIN! TUTUP MATAMU! APA YANG KAU LAKUKAN DISINI, HUH?" teriakku

"AKU DARITADI TUTUP MATA! GA NGELIAT, TAU!" balasnya berteriak

aku mencoba menutup bagian yang paling penting lalu mengambil handuk yang digantung dan melilitkannya di sekitar pinggangku. Kalau begitu, aku sudah bisa bernapas lega.

"NARUTO! KAU SEDANG APA?" teriakku menahan emosi

"KAU SENDIRI SEDANG APA? INI KAN KAMAR MANDIKU! TERSERAH DONG AKU MAU APA!" Naruto balas berteriak. Namun bukan omongannya yang kuperhatikan, sebagai gantinya, aku melihat... ehem, bo-bo-bo-nya yang lumayan. Lumayan? Namun sepertinya dia menyadari gelagatku karena sedetik kemudian dia berteriak lagi "SASUKE! DENGAR TIDAK!"

"TAPI KAN AKU SEDANG MANDI!" jawabku berusaha mengontrol diri

"IYA AKU TA—! Oiya, kau kan sedang mandi? Betapa bodohnya." Aku masih terdiam di tempatku, mengawasi. Saat Naruto sudah di ambang pintu dia mengucapkan "Ngomong-ngomong Sasuke, perutmu six-pack. Sexy, ya? Aku ingin yang seperti itu."

Ngih? Apa maksudnya? Maksudnya dia ingin "aku"? Atau apa? Hiii

~3~

"Pokoknya, kau jangan masuk ke kamar mandi lagi kalau aku sedang mandi, mengerti?" kataku saat aku sudah selesai mandi dan berganti baju tentunya

"Ya, tidak akan. Itu pertama dan terakhir. Lagipula itu tidak sengaja, kok." Sahutnya tanpa mengalihkan pandangan dari buku yang sedang dia baca.

"Kalau orang ngomong dengerin, dong! Itu buku apa?" tanyaku tanpa harus repot-repot menutupi rasa penasaranku

"Buku buat kerja. Tentang arsitek gitu, deh. Udah, anak kecil ga ngerti, tidur sana!" balasnya, kini dia sedang mencomot kue cokelat kering yang memang sudah tersedia di meja kecil di tengah kursi kami

"Wo! Apa tuh anak kecil? Merusak nama baik!" seruku terbawa emosi

"Haha, bercanda. Semua Uchiha memang begitu, ya? Haha." Saat dia berkata begitu, aku baru sadar kalau aku belum tahu nama keluarganya. Atau clan, atau marga, atau surname. Apalah.

"Hei, clanmu apa?" tanyaku

"Tentu saja Uzumaki! Memang aku belum bilang?" sahutnya membanggakan diri. Ia menambahkan "Ibuku Uzumaki, Ayahku Namikaze. Aku sendiri tidak mengerti mengapa aku jadi Uzumaki bukannya Namikaze."

"Pasti ada alasannya," sahutku asal

"Hn," responnya, kini dia melanjutkan membaca buku arsiteknya itu. Aku sama sekali tidak mengerti buku itu.

"Yo, Sasuke!" panggilnya

"Hn?" responku

"Kau punya orang tua?" tanyanya. Mengapa dia jadi tertarik dengan orang tuaku?

"Ayahku masih ada, ibuku sudah meninggal karena melahirkan adikku, Itachi Uchiha belasan tahun yang lalu." Jawabku

"Oh, maaf. Orang tuaku juga sudah tidak ada." Sahutnya, raut mukanya berubah sama sekali, menjadi seperti menangis? Entahlah.

"Itu sudah belasan tahun yang lalu. Terkadang aku juga jadi agak sedih kalau mengingat ibuku meninggal. Tapi, hidup kan masih jauh kedepan? Jangan lihat ke belakang, lihatlah ke depan. Siapa tau di sana ada sesuatu yang mungkin lebih berguna daripada mengingat ibuku terus. Berlaku juga untukmu yang mengingat orang tuamu. Oiya, mereka meninggal dua-duanya?" aku mencoba mengingat-ingat nasihat kakekku saat aku masih 13 tahun. Meskipun tidak persis, tapi intinya sama. Tak apalah.

"Keluargaku keluarga terpandang, banyak yang menginginkan harta keluargaku. Tak terkecuali teman ayahku, Madara Uchiha. Dia itu—" namun aku tidak mendengar perkataannya. Aku sibuk mencerna apa yang diucapkannya. Madara Uchiha itu bukan paman Madara yang rambutnya dulu gondrong dan sekarang jadi pendek dan agak autis itu? Pasti bukan

"Hei, wow, tunggu. Madara Uchiha yang dulu rambutnya gondrong?" tanyaku penasaran

"Ya, kau tahu? Setelah dia—" perkataannya kupotong "Dia pamanku!"

"Apa?" tanyanya tak percaya

"Di-a-pa-man-ku." Sahutku menekankan di setiak suku kata

"Kukira hanya kemiripan saja namamu dan dia. Tak tahunya memang satu clan. Dia menculikku waktu itu." Sahutnya

"Maaf, maaf. Dia memang agak autis. Sekali lagi, aku mewakilinya minta maaf padamu dan keluargamu. Maaf, maaf sekali." Kataku tanpa ada setitikpun gengsi yang menyelinap di tubuh Uchiha ini

"Sudah tidak apa. Kau yang bilang kan kalau tidak usah mengingat masa lalu?"

"Ya, tapi aku kan juga merasa bersalah. Yasudah lanjutkan ceritanya," sahutku malas

"Setelah aku dibawa ke rumah—" lagi-lagi kusela perkataannya

"Coba lanjutkan dari Madara Uchiha," sahutku

"Yah, Madara Uchiha itu teman SMA ayahku. Waktu itu dia menculikku. Aku juga tidak ingat benar, pokoknya aku diculik. Lalu dia membawaku ke suatu rumah. Aku tidak tau rumah siapa, dia menggeletakanku begitu saja. Lalu aku tidak ingat lagi." Ceritanya

"Lalu bagaimana kau tahu ayahmu meninggal?" tanyaku dengan nada amat-sangat-malas. Ceritanya seperti dongeng sebelum tidur

"Pokoknya, setelah aku di rumahku sendiri, aku diberi tahu kalau papa meninggal,"

"Yah, ga seru. Kalau mau cerita yang niat napa? Yaudah ceritain mamamu." Suruhku seraya mencomot kue yang ada di meja. Kasihan dia dari tadi tergeletak pasrah di piring

"Yah, kalau mama kecelakaan mobil. Aku juga tidak melihat secara langsung. Yang aku lihat upacara pemakamannya saja." sahutnya dengan muka innocent. Melas, polos. Sangat.

"Yasudah, jangan cerita lagi. Kalau kau cerita orang bisa kebawa emosi. Udah, anak kecil tidur sana!" seruku

"Wah! Tidak baik itu! Hak cipta, bray! Bisa dituntut, lo. Itu kan kata-kataku." Serunya dengan nada soktau. Sudah soktau, sok punya hak cipta pula

"Hn, terserah." Namun dengan nama Uchiha yang kusandang ini, tak mungkin kan aku berkelahi dengan Uzumaki pirang yang satu ini? Kampungan, sangat tidak Uchiha sekali.

Kami tenggelam dalam kegiatan masing-masing. Naruto membaca buku arsiteknya itu, yang tidak jelas. Aku membaca komik Sersan Keroro yang ditutupi majalah otomotif. Bisa-bisa aku dipenjara kalau aku ketahuan baca Keroro, tuntutannya mencemarkan nama keren Uchiha. Aku tidak mau. Sesekali, aku atau Naruto mengambil Kue di meja.

"Sasuke!" suara berat Naruto memecahkan keheningan diantara kami. "Hn?" balasku tanpa menoleh padanya sedikitpun

"Serius sekali baca komiknya." Tanya Naruto. Darimana dia bisa tahu?

"Aku baca majalah, tau! Ga bisa liat?" Jawabku—atau lebih tepatnya elakku—tanpa mengalihkan pandangan dari komik Keroro. Atau orang lain melihatnya aku tidak mengalihkan pandangan dari majalah.

"Haha, tentu saja bisa lihat. Tadi cuman bercanda. Soalnya tadi keliatan ada gambar kodok-kodok gitu. Ga tau juga, deh. Salah liat mungkin." Sahutnya sambil mengekeh sebentar, "Kau mau menginap disini 2 minggu, ya?" imbuhnya. Lah, dia tau lagi? Dia itu peramal atau apa, sih?

"Hn, tau darimana? Kau keberatan?" responku, kini perhatianku sudah tertuju pada Naruto sepenuhnya.

"Eum, sebenarnya sih tidak. Tapi, besok aku akan pergi ke Kumo. Ada proyek disana. Sekitar 5 hari. Kau tidak apa-apa aku tinggal? Maksudku kau kan belum biasa di Konoha." Raut mukanya berubah. Kecewa

"Hn, tidak apa-apa. Kan ada Sakura." Seruku malas. Masa dia melupakan Sakura, sih?

"Oh, ya Sakura! Haha, kenapa aku bisa lupa sih?" serunya lebih kepada diri sendiri.

"Omong-omong, kau tau dari mana aku akan menginap disini selama 2 minggu? Aku belum bilang kan?" tanyaku

"Aku fudul inboxmu. Haha, fudul itu seru, ya? Lagipula aku juga diberitahu Hinata-chan." Beritahunya, tanpa malu-malu memberitahu kalau dia fudul ponselku. Dasar tukang fudul

"Itu kan privacy!" seruku pada Naruto. Naruto hanya tertawa mendengarnya.

Tak lama kemudian di sakuku terasa ada yang bergetar. Oh, tentu saja ponselku. Di layar tertera tulisan 'My Beloved Sakura' aku mengangkatnya

"Ada apa, sayang?"

"Kita tidak jadi disini 2 minggu, ya?"

TBC

Aneh, aneh, aneh, aneh, aneh, AAAAANNNNEEEEEHHHH! haha apadeh aku tereak-tereak gaje

sekedar pemberitahuan buat para readers dan reviewers (?) itu pas adegan di kamar mandi si Sasuke lagi-tau kan? orang mandi gimana?- terus si Naruto lagi cuman pake boxer tuh jadinya gini. si Sasuke keserimpet sabun yang tadi jatoh, si Naruto yang lagi ganti baju panik. Jadinya dia masuk kamar mandi tanpa mikir lagi. pas udah sampe kamar mandi si Naruto baru nyadar kalo si Sasuke lagi mandi terus dianya sendiri cuma pake boxer. tenang aja pas adegan itu si Narutonya tutup mata terus jadinya dia ga liat apa-apanya Sasuke. ini kan Rating T ting ting *ngedip ngedip

oiya itu yang si sasuke ga pernah ciuman bibir sama Sakura tuh soalnya author juga ga mau. haha suka merinding sendiri kalau baca yang gitu gitu. tapi nanti diusahain bikin kalo readers mau.

tadinya ini mau dibikin birthday fict buat Sasuke, makanya chap 1nya kubikin Sasuke POV semua *readers : wooo ngeles* tapi kan aku takut kalo ni fict terus terusan mendekam di kompi rumah. kalo dibaca bonyok bisa rusuh haha. makanya mau di publish cepet cepet hehe. oiya piala dunia pada dukung siapa? kalo aku sih ga dukung dua duanya. tadinya aku dukung jepang, eh kalah. yaudah ganti ke brazil kalah lagi. ganti lagi ke argenn kalah juga. GRRRRRR

Review?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar